Paparan Sunda, atau ketika laut surut pada Kala Pleistosen Akhir
menjadi daratan luas disebut dalam dunia ilmiah Geologi internasional
sebagai Sundaland, adalah Benua Atlantis yang hilang menurut Profesor
Santos? Sungguh membanggakan! Wajar jika kesimpulan Profesor Priyatna
diakhir tulisannya bahwa Indonesia yang dianggap sebagai ahli waris
Atlantis, harus membuat kita bersyukur, tidak rendah diri di dalam
pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat
peradaban dunia (”PR”, 2 Oktober 2006).
Namun banyak ganjalan yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor
Santos yang melambungkan nama Indonesia, atau tepatnya Sundaland,
sebagai Benua Atlantis yang hilang itu. Ganjalan-ganjalan yang
berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya membawa kepada beberapa situs
internet tentang Atlantis. Lalu, mouse komputer saya terdampar pada
sumber awal munculnya mitos Atlantis itu, yaitu dialog Timaeus dan
Critias, yang ditulis oleh Plato.
Cerita Critias
Mitos Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan
ketiga muridnya; Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan
kepada Socartes di hadapan Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah
negeri dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa
Zeus karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias mengaku ceritanya
adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut
Critias sendiri yang juga bernama Critias.
Critias, si kakek buyut, mengetahui tentang Atlantis dari seorang
Yunani bernama Solon. Solon sendiri dikuliahi tentang Atlantis oleh
seorang pendeta Mesir, ketika ia mengunjungi Kota Sais di delta Sungai
Nil. Bayangkan cerita lisan turun temurun yang mungkin banyak terjadi
distorsi ketika Critias, si cicit, menceritakan kembali kepada Socrates,
sebelum ditulis oleh Plato.
Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog
Socrates, Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah
sumber tertulis yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah
tergambar suatu negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama
Atlantis. Letak negeri berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar
Hercules (the Pillars of Heracles).
Negeri itu lebih besar dari gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan
ke pulau-pulau lain di mana dari tempat ini akan ditemui sisi lain
negeri yang dikelilingi oleh lautan sejati. Laut ini yang berada pada
Selat Heracles hanyalah satu-satunya pelabuhan dengan gerbang sempit.
Tetapi laut yang lain adalah samudera luas di mana benua yang
mengelilinginya adalah benua tanpa batas.
Di Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang menguasai seluruh
pulau dan daerah sekitarnya, termasuk Libia, kolom-kolom Heracles,
sampai sejauh Mesir, dan di Eropa sampai sejauh Tyrrhenia. Lalu
terjadilah gempa bumi dan banjir yang melanda negeri itu. Dalam hanya
satu hari satu malam, seluruh penghuninya ditenggelamkan ke dalam bumi,
dan Atlantis menghilang ditelan laut.
Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis itu, bila kita cermati
memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah
(Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia,
disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak lain adalah
Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat di
Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera
Atlantik. Apakah betul Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari
gabungan Libia dan Asia? Pendapat ini ditentang juga sebagai salah
terjemah kata Yunani meson (lebih besar) dengan kata mezon (di antara).
Sundaland
Memang betul, konotasi Atlantis tidak harus mengacu kepada Samudera
Atlantik. Tetapi berdasarkan lingkungan kesejarahan dan geografis, para
ahli akhirnya berkonsentrasi mencari Atlantis di sekitar Laut Tengah,
antara Libia dan Turki yang dikenal sebagai Asia pada waktu itu. Sebelum
Profesor Santos berargumen bahwa Atlantis adalah Sundaland, pendapat
yang paling banyak diterima adalah bahwa negeri itu ada di tengah-tengah
Samudera Atlantis sendiri, yaitu di Kepulauan Azores milik Portugal
yang berada 1.500 km sebelah barat pantai Portugal. Tidak ada bukti
arkeologis yang mengukuhkan pendapat ini.
Tempat yang paling meyakinkan sebagai Atlantis adalah Pulau Thera di
Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah. Pulau Thera yang dikenal pula
sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara
Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan dahsyat gunung api ini
mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis
memang menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang
sangat maju di Eropa pada zamannya.
Pendapat Profesor Santos bahwa Atlantis adalah Sundaland atau
Indonesia mempunyai banyak kelemahan. Pertama, tidak terdeskripsi dari
cerita Solon melalui Critias bahwa Atlantis berada wilayah tropis.
Kedua, deskripsi geografis di sekitar benua mitos itu mengarah semua ke
Mediterania. Saya tidak tahu, lokasi mana yang ditunjuk Profesor Santos
dalam bukunya sebagai selat dengan pilar-pilar Hercules.
Tetapi ia (melalui tulisan Profesor Priyatna ”PR” 2 Oktober 2006),
berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api aktif dan
dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Ketiga, Profesor Santos mengarahkan bingkai waktu Atlantis pada zaman
es kala waktu Pleistosen. Zaman es terakhir (Wurm) terjadi pada
maksimum 18.000 tahun yang lalu. Saat itu, tutupan es di kutub-kutub
Bumi meluas hingga lintang 60 derajat, dan air laut di khatulistiwa
surut tajam. Di Kepulauan Indonesia, sebuah pendapat mengatakan bahwa
air laut surut hingga minus 140 m dari muka air laut sekarang. Maka,
perairan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan yang mempunyai
kedalaman tidak lebih dari 100 m, berubah menjadi daratan. Itulah yang
kemudian dikenal sebagai Sundaland.
Setelah 18.000 tahun yang lalu, permukaan laut mulai naik seiring
dengan masuknya zaman antar-es. Muka air laut naik terus hingga sekitar 5
m di atas muka laut sekarang pada sekira 5.000 tahun yang lalu, sebelum
turun kembali hingga pada posisinya sekarang. Artinya, penenggelaman
Sundaland akan berjalan sangat pelan (evolutif), memakan waktu 13.000
tahun. Padahal menurut cerita Critias, Atlantis tenggelam hanya dalam
satu hari satu malam!
Keempat, kebudayaan Indonesia pada Pleistosen Akhir, bahkan hingga
awal Holosen (11.000 tahun yang lalu) masih budaya pengumpul hasil hutan
dan berburu. Peralatannya adalah kayu, bambu dan batu, dengan rekayasa
sangat sederhana. Mereka tinggal di gua-gua atau teras sungai dengan
tempat bernaung dari ranting kayu dan dedaunan. Tidak ada pendapat satu
pun yang menggolongkan budaya Paleolitik seperti itu sebagai budaya yang
dianggap maju dan tinggi dalam pengertian yang sepadan ketika Plato
menuliskan bukunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar