Minggu, 10 Juni 2012

Fenomena Agresi Kebudayaan Asing di Indonesia

Meskipun terbilang agak "terlambat", karena fenomena tren gaul generasi muda bercengkrama di kafe Seven Eleven sudah terlanjur melekat dan menciptakan strata sosial tersendiri (keren) dalam kehidupan remaja dan anak muda di Ibu Kota Jakarta.

Namun usaha ini patut diapresiasi. Dalam harian itu, Kepala Disparbud DKI Jakarta, Arie Budhiman mengatakan—bahwa Seven Eleven merupakan bagian penanaman modal asing (PMA) yang turut berkontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI.

Lemah dalam Perspektif Budaya

Dalam konteks peningkatan PAD Pemprov. DKI Jakarta, argumentasi itu tentunya dapat diterima. Namun sepertinya lemah, jika Seven Eleven dilihat dari sudut pandang budaya.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat kecil, kita mengenal istilah warung kopi atau angkringan (istilah yang mulai popular di Ibu Kota).

Produk-produk yang disajikan pun adalah produk lokal berupa karya, cipta dan rasa, masyarakat tradisional kita di wilayahnya masing-masing. Selain jajanan, tempat itu juga merupakan intraksi sosial masyarakat dalam membahas sebuah persoalan.

Baik itu seputar persoalan kegiatan pribadi (kegitan), kelompok, daerah bahkan nasional. Karenanya, selain tempat jajanan, warung kopi atau angkringan, juga merupakan media komunikasi dalam kerangka membangun solidaritas, antar pribadi, kelompok maupun nasional.

Sedangkan kafe Seven Eleven, sangat jauh dari konsep itu. Konsep menjaga dan membangun kembali nilai-nilai kearifan lokal, sebagaimana riuh dikampanyekan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pembaca bandingkan saja sendiri bagaimana fenomena gaul di warung kopi atau angkringan dan Seven Eleven.

Meskipun tidak bisa ditampik bahwa ada nilai 'positif'-nya juga. Tetapi apa yang mereka usung (tren mode) dan diskusikan di SEVEN ELEVEN, tak jauh (dominan) seputar pergaulan yang diadopsi dari dunia asing.

Dari situlah selanjutnya (salah satu) indikator fenomena bergesernya nilai-nilai budaya lokal terjadi. Hingga menyebabkan runtuhnya sistem pertahanan dan ketananan budaya nasional. Mengingat budaya lokal adalah akumulasi dari nilai-nilai kearifan budaya lokal. Terlebih lagi tidak sedikit produk asing dihidangkan di tempat itu.

Keberpihakan adalah Mutlak

Dalam era globalisasi seperti sekarang hal semacam itu memang dihalalkan. Sejauh itu tidak lepas dari kesepakatan global. Penyeragaman budaya adalah konsekwesi di dalamnya.

Indikator itu seharusnya sudah terbaca jelas pada saat ditandatanganinya Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992. Kemudian dilanjutkan oleh kesepakatan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) sebagai kesepakatan kerjasama yang meliputi ekonomi dan perdagangan antara China dan negara-negara Asean. Dan sejak 1 Januari 2010 lalu, ACFTA efektif berlaku.

Patut diakui, bahwa hal ini pun memang tidak dapat dihidari. Karena sepertinya kekuatan besar pada percaturan dunia dalam membangun pradaban ekonomi modern, sepertinya sekarang, memang menghendaki model ini.

Lalu bagaimanakah kita dapat membuat sistem pertahanan dan ketahanan nasional yang tangguh dalam mempertahankan entitas bangsa yang ternarasikan pada konsep besar Bhineka Tunggal Ika, kalau bukan, negara dan instrumennya berpihak kepada kebudayaan lokal.

Agar anak bangsa, generasi muda Indonesia mampu meresapi dan menguasai secara untuh bagaimana entitas dirinya (bangsa). Menjadi wujud dalam kesehariannya.

Dengan inilah karakrer bangsa dapat tercipta dan melekat kuat. Lalu mampu berdiri kokoh di tengah arus deras globalisasi, hingga mampu menorehkan spektrum warna kebudayaan kita ke dalam kanvas besar "lukisan" kebudaya dunia.

Seven Eleven adalah satu di antara sekian banyaknya ornamen asing yang marak dan menggrogoti kebudayaan negeri ini. Ia menjadi tak ubahnya pasukan tempur dalam agresi kekuasaan kapital asing untuk mengusai ekonomi.

Pendekatan kultur dan budaya (modern) asing yang tengah tren dipublikasikan melalui televisi dan internet tidak lepas dari pembuka jalannya. Ini patut menjadi bahan perenungan dan evaluasi bagi semua lembaga negara (yang berkompeten).


Komentar :  Baik baik pusat maupun daerah dalam memainkan perannya sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan. Bukan semata-mata kepentingan uang dan seterusnya, lalu budaya sendiri malah tergerus dan hilang ditelan jaman. Kita tunggu saja kongkritnya!

Sunda Land

Paparan Sunda, atau ketika laut surut pada Kala Pleistosen Akhir menjadi daratan luas disebut dalam dunia ilmiah Geologi internasional sebagai Sundaland, adalah Benua Atlantis yang hilang menurut Profesor Santos? Sungguh membanggakan! Wajar jika kesimpulan Profesor Priyatna diakhir tulisannya bahwa Indonesia yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, harus membuat kita bersyukur, tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia (”PR”, 2 Oktober 2006).
Namun banyak ganjalan yang sangat mengganggu dengan pendapat Profesor Santos yang melambungkan nama Indonesia, atau tepatnya Sundaland, sebagai Benua Atlantis yang hilang itu. Ganjalan-ganjalan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya membawa kepada beberapa situs internet tentang Atlantis. Lalu, mouse komputer saya terdampar pada sumber awal munculnya mitos Atlantis itu, yaitu dialog Timaeus dan Critias, yang ditulis oleh Plato.
Cerita Critias
Mitos Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga muridnya; Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan kepada Socartes di hadapan Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah negeri dengan peradaban tinggi yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus karena penduduknya yang dianggap pendosa. Critias mengaku ceritanya adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut Critias sendiri yang juga bernama Critias.

 Critias, si kakek buyut, mengetahui tentang Atlantis dari seorang Yunani bernama Solon. Solon sendiri dikuliahi tentang Atlantis oleh seorang pendeta Mesir, ketika ia mengunjungi Kota Sais di delta Sungai Nil. Bayangkan cerita lisan turun temurun yang mungkin banyak terjadi distorsi ketika Critias, si cicit, menceritakan kembali kepada Socrates, sebelum ditulis oleh Plato.
Di luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog Socrates, Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah sumber tertulis yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah tergambar suatu negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama Atlantis. Letak negeri berada di depan selat yang diapit Pilar-pilar Hercules (the Pillars of Heracles).
Negeri itu lebih besar dari gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan ke pulau-pulau lain di mana dari tempat ini akan ditemui sisi lain negeri yang dikelilingi oleh lautan sejati. Laut ini yang berada pada Selat Heracles hanyalah satu-satunya pelabuhan dengan gerbang sempit. Tetapi laut yang lain adalah samudera luas di mana benua yang mengelilinginya adalah benua tanpa batas.
Di Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang menguasai seluruh pulau dan daerah sekitarnya, termasuk Libia, kolom-kolom Heracles, sampai sejauh Mesir, dan di Eropa sampai sejauh Tyrrhenia. Lalu terjadilah gempa bumi dan banjir yang melanda negeri itu. Dalam hanya satu hari satu malam, seluruh penghuninya ditenggelamkan ke dalam bumi, dan Atlantis menghilang ditelan laut.
Cerita tragis yang memunculkan mitos Atlantis itu, bila kita cermati memang akan mengarah secara geografis di sekitar Laut Tengah (Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir, Eropa dan Tyrrhenia, disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak lain adalah Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat di Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera Atlantik. Apakah betul Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari gabungan Libia dan Asia? Pendapat ini ditentang juga sebagai salah terjemah kata Yunani meson (lebih besar) dengan kata mezon (di antara).

Sundaland
Memang betul, konotasi Atlantis tidak harus mengacu kepada Samudera Atlantik. Tetapi berdasarkan lingkungan kesejarahan dan geografis, para ahli akhirnya berkonsentrasi mencari Atlantis di sekitar Laut Tengah, antara Libia dan Turki yang dikenal sebagai Asia pada waktu itu. Sebelum Profesor Santos berargumen bahwa Atlantis adalah Sundaland, pendapat yang paling banyak diterima adalah bahwa negeri itu ada di tengah-tengah Samudera Atlantis sendiri, yaitu di Kepulauan Azores milik Portugal yang berada 1.500 km sebelah barat pantai Portugal. Tidak ada bukti arkeologis yang mengukuhkan pendapat ini.

 Tempat yang paling meyakinkan sebagai Atlantis adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah. Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan dahsyat gunung api ini mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis memang menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zamannya.
Pendapat Profesor Santos bahwa Atlantis adalah Sundaland atau Indonesia mempunyai banyak kelemahan. Pertama, tidak terdeskripsi dari cerita Solon melalui Critias bahwa Atlantis berada wilayah tropis. Kedua, deskripsi geografis di sekitar benua mitos itu mengarah semua ke Mediterania. Saya tidak tahu, lokasi mana yang ditunjuk Profesor Santos dalam bukunya sebagai selat dengan pilar-pilar Hercules.
Tetapi ia (melalui tulisan Profesor Priyatna ”PR” 2 Oktober 2006), berargumen bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung api aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Ketiga, Profesor Santos mengarahkan bingkai waktu Atlantis pada zaman es kala waktu Pleistosen. Zaman es terakhir (Wurm) terjadi pada maksimum 18.000 tahun yang lalu. Saat itu, tutupan es di kutub-kutub Bumi meluas hingga lintang 60 derajat, dan air laut di khatulistiwa surut tajam. Di Kepulauan Indonesia, sebuah pendapat mengatakan bahwa air laut surut hingga minus 140 m dari muka air laut sekarang. Maka, perairan Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 100 m, berubah menjadi daratan. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Sundaland.
Setelah 18.000 tahun yang lalu, permukaan laut mulai naik seiring dengan masuknya zaman antar-es. Muka air laut naik terus hingga sekitar 5 m di atas muka laut sekarang pada sekira 5.000 tahun yang lalu, sebelum turun kembali hingga pada posisinya sekarang. Artinya, penenggelaman Sundaland akan berjalan sangat pelan (evolutif), memakan waktu 13.000 tahun. Padahal menurut cerita Critias, Atlantis tenggelam hanya dalam satu hari satu malam!
Keempat, kebudayaan Indonesia pada Pleistosen Akhir, bahkan hingga awal Holosen (11.000 tahun yang lalu) masih budaya pengumpul hasil hutan dan berburu. Peralatannya adalah kayu, bambu dan batu, dengan rekayasa sangat sederhana. Mereka tinggal di gua-gua atau teras sungai dengan tempat bernaung dari ranting kayu dan dedaunan. Tidak ada pendapat satu pun yang menggolongkan budaya Paleolitik seperti itu sebagai budaya yang dianggap maju dan tinggi dalam pengertian yang sepadan ketika Plato menuliskan bukunya.