Namun usaha ini patut diapresiasi. Dalam harian itu, Kepala Disparbud DKI Jakarta, Arie Budhiman mengatakan—bahwa Seven Eleven merupakan bagian penanaman modal asing (PMA) yang turut berkontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI.
Lemah dalam Perspektif Budaya
Dalam konteks peningkatan PAD Pemprov. DKI Jakarta, argumentasi itu tentunya dapat diterima. Namun sepertinya lemah, jika Seven Eleven dilihat dari sudut pandang budaya.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat kecil, kita mengenal istilah warung kopi atau angkringan (istilah yang mulai popular di Ibu Kota).
Produk-produk yang disajikan pun adalah produk lokal berupa karya, cipta dan rasa, masyarakat tradisional kita di wilayahnya masing-masing. Selain jajanan, tempat itu juga merupakan intraksi sosial masyarakat dalam membahas sebuah persoalan.
Baik itu seputar persoalan kegiatan pribadi (kegitan), kelompok, daerah bahkan nasional. Karenanya, selain tempat jajanan, warung kopi atau angkringan, juga merupakan media komunikasi dalam kerangka membangun solidaritas, antar pribadi, kelompok maupun nasional.
Sedangkan kafe Seven Eleven, sangat jauh dari konsep itu. Konsep menjaga dan membangun kembali nilai-nilai kearifan lokal, sebagaimana riuh dikampanyekan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pembaca bandingkan saja sendiri bagaimana fenomena gaul di warung kopi atau angkringan dan Seven Eleven.
Meskipun tidak bisa ditampik bahwa ada nilai 'positif'-nya juga. Tetapi apa yang mereka usung (tren mode) dan diskusikan di SEVEN ELEVEN, tak jauh (dominan) seputar pergaulan yang diadopsi dari dunia asing.
Dari situlah selanjutnya (salah satu) indikator fenomena bergesernya nilai-nilai budaya lokal terjadi. Hingga menyebabkan runtuhnya sistem pertahanan dan ketananan budaya nasional. Mengingat budaya lokal adalah akumulasi dari nilai-nilai kearifan budaya lokal. Terlebih lagi tidak sedikit produk asing dihidangkan di tempat itu.
Keberpihakan adalah Mutlak
Dalam era globalisasi seperti sekarang hal semacam itu memang dihalalkan. Sejauh itu tidak lepas dari kesepakatan global. Penyeragaman budaya adalah konsekwesi di dalamnya.
Indikator itu seharusnya sudah terbaca jelas pada saat ditandatanganinya Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992. Kemudian dilanjutkan oleh kesepakatan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) sebagai kesepakatan kerjasama yang meliputi ekonomi dan perdagangan antara China dan negara-negara Asean. Dan sejak 1 Januari 2010 lalu, ACFTA efektif berlaku.
Patut diakui, bahwa hal ini pun memang tidak dapat dihidari. Karena sepertinya kekuatan besar pada percaturan dunia dalam membangun pradaban ekonomi modern, sepertinya sekarang, memang menghendaki model ini.
Lalu bagaimanakah kita dapat membuat sistem pertahanan dan ketahanan nasional yang tangguh dalam mempertahankan entitas bangsa yang ternarasikan pada konsep besar Bhineka Tunggal Ika, kalau bukan, negara dan instrumennya berpihak kepada kebudayaan lokal.
Agar anak bangsa, generasi muda Indonesia mampu meresapi dan menguasai secara untuh bagaimana entitas dirinya (bangsa). Menjadi wujud dalam kesehariannya.
Dengan inilah karakrer bangsa dapat tercipta dan melekat kuat. Lalu mampu berdiri kokoh di tengah arus deras globalisasi, hingga mampu menorehkan spektrum warna kebudayaan kita ke dalam kanvas besar "lukisan" kebudaya dunia.
Seven Eleven adalah satu di antara sekian banyaknya ornamen asing yang marak dan menggrogoti kebudayaan negeri ini. Ia menjadi tak ubahnya pasukan tempur dalam agresi kekuasaan kapital asing untuk mengusai ekonomi.
Pendekatan kultur dan budaya (modern) asing yang tengah tren dipublikasikan melalui televisi dan internet tidak lepas dari pembuka jalannya. Ini patut menjadi bahan perenungan dan evaluasi bagi semua lembaga negara (yang berkompeten).
Komentar : Baik baik pusat maupun daerah dalam memainkan perannya sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan. Bukan semata-mata kepentingan uang dan seterusnya, lalu budaya sendiri malah tergerus dan hilang ditelan jaman. Kita tunggu saja kongkritnya!